Subscribe:

Ads 468x60px

Pages

12 Nov 2011

[Hari Pahlawan] Cerita Bendera pada Sebuah Desa

  • i
Rudi anak seorang petugas desa. Hari ini mendapat mandat untuk mengibarkan Bendera Merah Putih di Lapangan Balai Desa. Itu pesan bapaknya melalui pesan pendek. Tugas bapaknya seperti ini disetiap pagi. Mengibarkan Sang Pusaka di kerekan depan kantor tempat bapak bekerja. Tetapi minggu ini beliau sedang ke Jakarta. Untuk berdemo tentang nasib para petugas desa. Untuk menuntut upah setimpal agar periuk-nasi rumah terisi ala-kadarnya. Sayang bapak Rudi menolak menjadi sekertaris desa dua tahun yang lalu. Yang sekarang Kang Maman di tunjuk jadi carik 3 bulan lalu itu malah dijadikan Pegawai Negeri.
“Itu bukan rejeki kita” kata bapak dahulu.
Tapi siapa tahan dengan gaji yang tak seimbang dengan pekerjaan? Ditambah lahan bengkok tak produktif akibat cuaca kurang bersahabat? Kali ini puncak rasa cemburu seorang lelaki karena masalah penghasilan menjadi membengkak akut. Bapak Rudi iri dengan Kang Maman. Tapi masih dengan akal sehat - itupun karena bisikan ibu yang menyejukkan- kemudian bapak Rudi menjadi anggota perkumpulan pengurus desa. Alih-alih bapak becek-cok tanpa sumber masalah jelas. Ataupun bapak Rudi mencalonkan menjadi kepala desa, dan tak pasti menjadi kepala desa. Ia mengikuti organisasi itu. Disana bapak Rudi mendapatkan bahwa nasib sama juga dialami oleh banyak pengurus desa. Lalu ada aba-aba dari pengurus pusat nasional. Mereka ke Istana untuk bersama-sama memperjuangkan segelintir nasib penghuni Balai Desa.
“Bapak mau jalan-jalan ke Jakarta nok, nanti bapak bawa oleh-oleh” kata bapak kepada adik Rudi. Masih merengek dan ingin ikut dengan bapaknya. Itu 3hari lampau.
Rudi kemudian menuju ke Balai Desa. Menggunakan sepeda tua milik bapaknya. Karena ini hari Pahlawan. Bapak Rudi menyuruh membawa bendera baru yang disimpan di rumah. Melajulah Rudi menggenjot dan menyelempangkan bendera di pundak. Sampai pada tikungan pertama ia mendapatkan Kang Udin yang hendak pergi ke sawah.
“Gimana Rud? Sudah dapat pekerjaan belum?” “Belum Kang. Kemarin sudah ngrim ke Outsourching. Ini nunggu panggilan.” Rudi adalah lulusan SMK. Jika bulan ini tidak mendapat panggilan pekerjaan. Ia akan hijrah ke Jakarta untuk mencari pekerjaan disana. Disana toh… ada sepupunya.
Rudi juga enggan meneruskan menjadi pengurus desa seperti Bapak. Jiwa muda berpetualang Rudi masih mendominasi. Sama seperti separuh teman-teman di desa yang merantau ke berbagai penjuru. Ia juga mendapati keputusan sama dengan dirinya. Bapak tak menyarankan untuk meneruskan pekerjaan sama dengan dirinya, ibu juga memerdekakan ia berkerja menjadi apapun dimanapun. Asal halal, itu kesepakatan bersama.
Konsentrasi Rudi terpecah karena perbincangan mengenai pekerjaan tadi. Sepeda Rudi tak mampu menghindari batu licin yang tergenangi air hujan semalam. Jatuhlah ia bersama bendera dan lamunan pekerjaan.
“Aduh… biyung… Benderanya kotor” ia menganggkat bendera yang menggenang bersama air cekungan disisi jalan. “Oi Rud makanya kalau jalan jangan ngelamunin si Rohimah. Haha…” kata seseorang dibelakang. Setelah Rudi menoleh ia mengenal bahwa itu teman sedesanya.
“Ah kamu Lan…”
“Tadi malam kamu nggak ada di Konser Dangdut RT 2?” tanya Alan. Melihat Rudi yang bangkit. Ia mematikan motor dan menolong. Owh bukan… bukan menolong Rudi, tapi sepedanya.
“Aku jaga rumah. Bapak ke Jakarta Lan. Kamu pulang kapan? Kok malam tadi sudah dangdutan?” tanya Rudi. Tapi matanya masih meratapi bendera baru yang terkena cipratan tanah.
Alan itu anak Kang Maman. Carik desa ini. Alan melanjutkan kuliah di Semarang. Ia mendapat pendidikan yang lebih tinggi seperti Rudi impikan. Rudi menginginkan itu. Tapi kenyataanya bapaknya tak mampu meneruskan ke Universitas. Dan masih banyak adik-adik bersekolah jauh dibawah umurnya. Tak patut ia menyalahkan apapun. Langkah selanjutnya hanya bekerja, menjadi mandiri dan mengangkat harkat keluarganya.
“Kemarin Rud. Mau kemana? Ke Balai Desa? Ayo tak bantu kesana.” “Oke. Terimakasih. Aku bisa kesana sendiri.”
“Nanti malam aku ke rumahmu ya, Rud.”
“Oke. Tak tunggu Lan” melihat Alan cepat berlalu dengan motor.
Ia menapak pedal sepeda menuju Balai Desa yang sudah di jangkauan mata. Kali ini bendera, ia tak panggul dipundak. Rudi menjepitnya di boncengan belakang. Risih karena kotor dapat menjalar ke bajunya.
Di istirahatkan sepeda pada sebuah dinding waktu ia mencapai Balai Desa. Lalu ia mencari ide untuk membersihkan Bendera. Sepi juga pagi ini. Pak Kades dan Pak Carik mungkin ke Kabupaten dan Kecamatan menghadiri Upacara Hari Pahlawan. Lalu petugas desa lain bersama bapak Rudi masih di Jakarta. Ia membuka kunci Balai Desa lalu menuju ke kamar mandi. Membuka kran tapi tak mengalir air kran itu. Melongok pada bak ternyata kosong.  Bagaimana ia bisa mencuci bendera? Harus pulangkah?
” Hujan! ” teriak Rudi. Terdengar rintik keras menerpa atap seng Balai Desa.
Ia kemudian keluar. Lalu cepat-cepat mengerek Bender Merah Putih menuju puncak tiang. Berharap hujan mampu melunturkan cipratan tanah. Mampu membersihkan Sang Saka. Mampu meluluhkan galau mudanya akan sebuah pekerjaan. Dan iri hati karena keadaan tak sesuai harapan.
note = Biyung:ibu, carik:sekretaris desa,
Kudus 10 November 2011 16:04 @Kompasiana- Fiksiana. Untuk semua petugas kelurahan dan balai desa se-Indonesia. Bagi saya meraka adalah Pahlawan Akar Rumput. Dan petugas pengibar bendera di desa/kelurahan.  Mengibarkan Sang Saka Merah Putih diwilayah mereka. I Love It.  kompasiana.com

0 comments:

Posting Komentar